Read in your own language

Rabu, 03 Juni 2015

Day3 Hidup adalah pilihan (belajar dari Wak Yati)

Inspirasi hari ini didapatkan saat saya membaca sebuah novel karya Tere Liye yg berjudul "Amelia" - Serial Anak-anak Mamak



Amelia adalah anak keempat dari empat bersaudara, anak-anak dari Bapak Syahdan dan Mamak Nur. Kebiasaan di desanya, anak bungsu biasanya punya kewajiban 'menunggu rumah' yang artinya tidak ada kesempatan untuk meraih mimpi di luar desanya. Dia mau tidak mau hanya tinggal di desa. Amelia sering sekali diledek oleh kedua abangnya bahwa dia tidak akan kemana2 karena dia harus 'menunggu rumah' dan Amelia sangat kesal dan merasa hal tersebut tidak adil karena siapa meminta untuk jadi anak terakhir. Kenapa dia tidak dilahirkan sebagai anak ke dua ato ketiga dll..
Dan inilah sepenggal kisah pembicaraan antara Wak Yati (kakak dari Bapaknya) dengan Amelia di suatu hari

Alkisah Wak Yati (kakaknya bapak Amelia ini) di masa mudanya pernah tinggal di luar negeri, mengikuti ekspedisi kapal ke Melaka sampai hingga ke Belanda. Namun dalam perjalanan hidupnya, Wak Yati memutuskan pulang ke rumah ketika ibunya sakit dan perlu dirawat dengan khusus.

Beginilah penggalan ceritanya:

"Kau tadi bertanya kenapa Wawak pulang? Meninggalkan seluruh mimpi-mimpi hebat di Ibukota Provinsi? Jawabannya sederhana sekali. Karena tidak ada yang merawat Nenek kau yang sedang sakit. Maka Wawak harus memilih. Keluarga selalu menjadi prioritas pertama, Miesje. Dulu, sekarang, dan kapan pun, keluarga harus berada di urutan pertama. Maka Wawak mengirim surat ke saudagar di Ibukota Provinsi, meminta berhenti bekerja. Mengucapkan beribu terima kasih atas pengalaman berharga tersebut."

Wak Yati menatap ke arah jendela. Hujan deras masih turun.

"Tapi..... Tapi bukankah setelah itu Nenek sembuh?"
Aku tahu potongan cerita itu. Bapak pernah bercerita di rumah.

"Iya, kau betul. Dengan dirawat baik, Nenek kau bahkan pulih seperti sedia kala."

"Kenapa Wawak tidak kembali ke Ibukota Provinsi setelah Nenek sembuh?"

"Karena Wawak memutuskan tidak, Amel" Wak Yati tersenyum. "Kau mungkin masih terlalu kecil untuk mengerti, tapi kehidupan ini dalam situasi tertentu hanya tentang pilihan. Ketika dua pilihan sama baiknya tiba, maka sesungguhnya lebih mudah lagi memutuskannya. Tinggal di kampung, menemani Nenek itu pilihan yang baik. Pergi ke kota, kembali bekerja sebagai Klerk. itu juga baik. Saat dua pilihan baik bertemu, apapun yang kita pilih makan hasilnya sama baiknya."

Aku menghela napas, tidak paham maksud kalimat itu.

" Baiklah, kau mungkin tidak akan suka mendengarkannya," Wak Yati menatapku sejenak, "Wawak anak perempuan satu-satunya di keluarga, Amel. Maka 'menunggu rumah' jatuh kepadaku. Tidak akan ada yang mengurus ladang karet, kopi milik keluarga. Tidak ada yang menemani Nenek di masa tuanya. Waktu itu bapak kau bahkan sepuluh kali lebih nakal dibanding Burlian. (Burlian adalah anak ke-3 dari anak-anak Mamak, dia yang dipanggil anak special oleh keluarga dan desanya, untuk menanamkan kepada dirinya bahwa ia spesial dan bukan nakal). Kita tidk bisa berharap dia mau mengambil tanggung jawab itu, bukan? Maka Wawak menutup mimpi-mimpi itu, memilih tinggal di kampung. Menggantinya dengan mimpi-mimpi lebih sederhana, tapi tetap membuat bahagia."

Aku menundukmemikirkan kalimat Wak Yati.
"Amel tidak mau 'menunggu rumah'." Aku berkata pelan setelah beberapa detik hanya suara hujan yang terdengar. 

"Astaga, Amel. Siapa pula yang meminta kau akan 'menunggu rumah'?" Wak Yati tertawa. "Kita kan sedang membicarakan tentang perjalanan Wawak. Kau sendiri yang bertanya tadi." "Kau selalu bisa memilih menjadi apapun ketika dewasa. Syahdan dan Nurmas tidak akan menahan anak-anaknya. Bahkan Nenek kau dulu juga menyuruhku kembali ke kota. Memaksaku sambil menangis, bilang "Yati, ada banyak kesempatan di sana. Kau bisa menjadi orang besar, jangan habiskan waktu sia-sia di kampung terpencil ini.Tapi Wawak memilih keputusan berbeda. Wawak memutuskan tinggal di kampung tanpa dipaksa siapapun. Ada banyak yang bisa kulakukan di kampung ini. Dan yang lebih penting, apakah kita bahagia atau tidak, Amel. Apakah rasa damai, tentram, itu hadir di hati. Kitalah yang paling tahu."

Aku masih menundukEntahlah

"Sejauh-jauhnya kau pergi, setinggi apapun mimpi kau, Amel, kau tetap tidak bisa melupakan hakikat seorang perempuan. Menjadi istri, menjadi ibu dari anak-anak kau kelak. Pun sama, termasuk sejauh-jauhnya kau pergi, melihat dunia, rumah kita tetap ada di sini. Tanah kelahiran, tempat kita dibesarkan. Jadi siapa tahu kamu tertarik, kau juga bisa memutuskan tinggal di kampung ini, menemani Mamak dan Bapak kau. Itu juga pilihan sama baiknya"

Kutipan cerita sampai di sini saja. Jika teman2 tertarik membaca lebih lanjut, silakan dilanjutkan membaca bukunya (dijamin ga rugi..)

Sekarang kembali kepada tulisan ini kenapa saya mengutip cerita ini. Karena saya pernah memutuskan untuk melakukan seperti Wak Yati. 

Kira2 tahun 2012, saya memutuskan untuk resign dari organisasi tempat saya bekerja karena saya melihat sepertinya tidak mungkin membiarkan ayah saya dn tante saya saja yang menjaga toko di rumah dengan kondisi dokter bilang bahwa ayah saya mungkin sudah terkena Parkinson. Dan dengan demikian, kondisi ayah saya dapat sedikit demi sedikit menurun. Jadi dengan agak nekad..saya memutuskan untuk berhenti dan sementara berkonsentrasi dengan kondisi ayah saya. 

Keputusan ini cukup membingungkan semua orang dan mungkin sebagian orang bilang saya hebat krn mau menjaga orang tua, ada yang bingung karena kok saya mo melepas posisi manajer wkt itu demi menjaga ortu pdhl kan cuma bisa bertahan dengan toko. Penjelasan Wak Yati di atas cukup menggambarkan pilihan saya waktu itu. Bahwa memang bukan masalah hebat ato nekad, tapi itu pilihan mudah, orang tua adalah prioritas pertama. Kalau itu pilihan saya, jalani dan syukuri dan tidak boleh mengeluh ataupun menyesal. Konsekuensi ada, tp Tuhan lebih besar daripada semua masalah.

Dan pilihan saya waktu itu tepat, 7 bulan kemudian entah mengapa ayah saya jatuh dr kamar mandi dan disitulah kondisi beliau semakin menurun sampai beliau meninggal November tahun lalu (2014). Kakak saya pun sempat di rumah dan ikut menjaga ayah ketika kemudian saya bergantian memilih bekerja kembali. 

Sekali lagi, hidup ini adalah pilihan. Tidak ada istilah 'menunggu rumah' yang bisa menghambat mimpi kita. Kalau pilihannya sama baiknya, yang perlu kita lakukan adalah mengganti mimpi-mimpi itu dengan yang lebih sederhana tapi membuat kita bahagia.

Jika teman sedang mengalami pergumulan yang sama, ketahuilah bahwa pilihanmu menjaga orang tua pun sama baiknya. Tinggal bagaimana kita menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.

Salam rabu (serasa hari senin)

Tidak ada komentar: